Sejarah perkembangan Islam di Indonesia tak bisa dilepaskan dari jasa
Walisanga (wali sembilan). Banyak versi mengenai kisah para wali ini,
salah satunya versi yang menyatakan mereka berasal dari China. Tahun
1968, Profesor Slamet Mulyana menulis versi yang tidak populer itu dalam
bukunya “Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara
Islam di Nusantara”, namun dilarang beredar karena dinilai dapat memicu
perdebatan SARA (Suku, Agama, Ras dan Antaragama).
Menurut Mulyana, orang yang mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa
adalah orang Tionghoa, yakni Chen Jinwen atau yang lebih dikenal dengan
Raden Patah alias Panembahan Tan Jin Bun/Arya (Cu-Cu). Ia adalah
pendiri kerajaan Demak di Jawa Tengah.
Walisanga dibentuk oleh Sunan Ampel pada tahun 1474. Mereka terdiri
dari sembilan orang wali; Sunan Ampel alias Bong Swie Ho, Sunan Drajat
alias Bong Tak Keng, Sunan Bonang alias Bong Tak Ang, Sunan Kalijaga
alias Gan Si Cang, Sunan Gunung Jati alias Du Anbo-Toh A Bo, Sunan Kudus
alias Zha Dexu-Ja Tik Su, Sunan Muria Maulana Malik Ibrahim alias Chen
Yinghua/ Tan Eng Hoat, dan Sunan Giri yang merupakan cucu dari Bong Swie
Ho.
Sunan Ampel (Bong Swie Ho) alias Raden Rahmat lahir pada tahun 1401
di Champa (Kamboja). Saat itu, banyak sekali orang Tionghoa penganut
agama Muslim bermukim di sana. Ia tiba di Jawa pada 1443. Tiga puluh
enam tahun kemudian, yakni pada 1479, ia mendirikan Mesjid Demak.
Belanda, yang sempat ‘berperang’ dengan para wali itu sempat tidak
mempercayai bahwa sultan Islam pertama di Jawa adalah orang Tionghoa.
Untuk memastikannya, pada 1928, Residen Poortman ditugaskan oleh
pemerintah Belanda untuk menyelidikinya. Poortman lalu menggeledah
Kelenteng Sam Po Kong dan menyita naskah berbahasa Tionghoa. Ia
menemukan naskah kuno berusia ratusan tahun sebanyak tiga pedati.
Arsip Poortman ini dikutip oleh Parlindungan yang menulis buku yang
juga kontroversial, Tuanku Rao. Slamet Mulyana juga banyak menyitir dari
buku ini. Pernyataan Raden Patah adalah seorang Tionghoa ini tercantum
dalam Serat Kanda Raden Patah bergelar Panembahan Jimbun, yang dalam
Babad Tanah Jawi disebut sebagai Senapati Jimbun. Kata Jin Bun (Jinwen)
dalam
dialek Hokkian berarti ‘orang kuat’. Cucu Raden Patah, Sunan Prawata
atau Chen Muming/ Tan Muk Ming adalah Sultan terakhir dari Kerajaan
Demak. Ia berambisi meng-Islamkan seluruh Jawa, sehingga apabila ia
berhasil maka ia bisa menjadi “segundo Turco” (seorang Sultan Turki ke
II), sebanding sultan Turki Suleiman I dengan kemegahannya.
Kata Walisanga yg selama ini diartikan sembilan (sanga) wali,
ternyata masih memberikan celah untuk versi penafsiran lain. Ada yang
berpendapat bahwa kata ‘sanga’ berasal dari kata ‘tsana’ dari bahasa
Arab, yang berarti mulia. Pendapat lainnya menyatakan kata ‘sanga’
berasal dari kata ‘sana’ dalam bahasa Jawa yang berarti tempat.
Kata Sunan yang menjadi panggilan para anggota Walisanga, dipercaya
berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan
dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yg berarti guru. Disebut guru, karena para
wali itu adalah guru-guru Pesantren Hanafiyah, dari mazhab Hanafi.
Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan, sebab para penganut aliran
Hanafiah ini berasal dari Tiongkok Selatan.
Perlu diketahui juga bahwa sebutan ‘Kyai’ yang kita kenal sekarang
sebagai sebutan untuk guru agama Islam, dulu digunakan untuk memanggil
seorang
lelaki Tionghoa Totok, seperti pangggilan ‘Encek’. Dan, sadar atau
tidak, baju muslim yang kerap digunakan oleh laki-laki muslim Indonesia
sangat mirip dengan pakaian ala China. Baju Koko dan penutup kepala
putih dianggap berasal dari China, karena di negeri asal Islam, Timur
Tengah, pakaian ini tidak dikenal.
Wali Songo
Diposting oleh
perkembangan islam di indonesia
Rabu, 14 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar