ISLAM INDONESIA DAN TRANSORMASI BUDAYA


ISLAM INDONESIA DAN TRANSORMASI BUDAYA (bag.1)

oleh Abdul Hadi WM pada 9 Agustus 2010 pukul 13:20 ·
Abdul Hadi W. M.


Masuk dan berkembang pesatnya agama Islam di Indonesia pada abad ke-13 – 17 M memunculkan banyak pendapat yang berbeda-beda bahkan saling bertentangan. Khususnya berkaitan dengan tempat darimana agama ini datang dan siapa yang membawa masuk, serta saluran-saluran utama yang memungkinkan pesatnya perkembangan itu. Semula diduga bahwa yang mula-mula membawa dan memperkenalkan agama ini kepada penduduk Nusantara ialah pedagang-pedagang dari Gujarat, India. Sejak itu perdagangan dipandang sebagai faktor terpenting sebagau saluran pesatnya perkembangan agama Islam di Nusantara. Tetapi penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa faktornya sangat kompleks. Sebelum berkembang pesat Islam harus menempuh jalan yang berliku-liku dan rumit serta panjang, dan faktornya bukan hanya perdagangan semata-mata.

Bukti-bukti yang lebih absah seperti berita-berita Arab, Persia, Turki, dan teks-teks sejarah lokal memperkuat keterangan bahwa Islam hadir di kepulauan Nusantara dibawa langsung dari negeri asalnya oleh pedagang-pedagang Arab, Persia dan Turki. Gujarat dan bandar-bandar lain di India seperti Malabar dan Koromandel hanyalah tempat persinggahan saja sebelum mereka melanjutkan pelayaran ke Asia Tenggara dan Timur Jauh. Pada abad ke-12 dan 13 M, disebabkan banyaknya kekacauan dan peperangan di Timur Tengah termasuk Perang Salib, mendorong penduduk Timur Tengah semakin ramai melakukan kegiatan pelayaran ke Asia Tenggara. Tidak sedikit di antara mereka yang bermukim lama dan kawin mawin dengan penduduk setempat. Lambat laun terbentuklah komunitas-komunitas Muslim yang besar di bandar-bandar dagang kepulauan Nusantara.

Faktor yang turut menentukan bagi bertambah ramainya kegiatan perdagangan bangsa Arab dan Persia di Asia Tenggara ialah invasi beruntun bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan ke atas negeri-negeri Islam sejak tahun 1220 M yang berakhir jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada 1258 M. Kehancuran negeri-negeri Islam ini dan penjajahan bangsa Mongol telah mendorong terjadinya gelombang perpindahan besar-besaran kaum Muslimin ke India dan ke Asia Tenggara Perpindahan besar-besaran itu terjadi hingga akhir abad ke-14 M mengikuti ramainya arus pelayaran dan kegiatan perdagangan. Brsama para pedagang dan pengungsi yang lain itu hadir pula sejumlah faqir atau sufi pengembara bersama ratusan pengikut tariqat yang mereka pimpin. Mereka ternyata berhasil memanfaatkan jaringan perdagangan internasional yang telah lama dibina para pedagang Muslim dalam menjalankan kegiatan mereka menyebarkan agama Islam.

Karena negeri-negeri di kepulauan Melayu merupakan gerbang masuk paling depan dan tempat singgahan paling utama bagi kapal-kapal asing yang berasal dari arah barat, maka tidak mengherankan jika kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Samudra Pasai (1270-1514 M) dan Malaka (1400-1511 M) muncul. Imperium-imperium Islam berkembang dari kota-kota pelabuhan yang penduduknya telah menganut agama Islam, serta berkembang menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran Islam setelah raja-raja mereka memeluk agama Islam. Munculnya kerajaan-kerajaan ini memungkinkan berkembangnya perlembagaan-perlembagaan Islam, yang merupakan faktor utama pesatnya penyebaran agama Islam dan transformasi budayanya.

Ada juga faktor lain yang tidak kalah penting berkaitan dengan surutnya perkembangan agama Buddha dan Hindu. Surutnya perkembangan dua agama universal ini diisi oleh hadirnya agama universal lain yang memungkinkan penduduk kepulauan Nusantara dapat berpartisipasi dalam era baru arus global perdagangan, yang untuk kedua kalinya (yang pertama abad ke-5 – 11 M) melanda Asia Tenggara. Kemunduran Sriwijaya pada awal abad-13 M dan kehancurannya pada abad ke-14 akibat gempuran Majapahit, sebuah kerajaan Hindu yang baru bangkit di Jawa Timur, memberi peluang pesatnya agama Islam berkembang.

Sejak lama Sriwijaya merupakan pusat kekuasaan dan penyebaran agama Buddha yang penting di Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Palembang, ibukota imperium ini merupakan bandar dagang terbesar di kepulauan Melayu. Tetapi setelah dibelit oleh krisis ekonomi sejak akhir abad ke-12 M ia menjadi lemah dan wilayah taklukannya yang luas di Semenanjung Malaya dan Sumatra satu persatu direbut Siam atau melepaskan diri. Di antara kerajaan-kerajaan kecil di Sumatra yang berhasil melepaskan diri ialah Lamuri, Aru, Pedir, Samalangga dan Samudra di pantai timur, dan Barus di pantai barat. Penduduk negeri-negeri ini sejak telah banyak yang memeluk agama Islam. Sejak Sriwijaya mengalami kemunduran dan memungut cukai yang tinggi bagi kapal-kapal asing yang singgah di pelabuhan Palembang, kapal-kapal dagang Muslim makin enggan singgah. Mereka lebih senang berlabuh di bandar-bandar dagang yang penduduknya telah banyak menganut agama Islam.

Menjelang akhir abad ke-13 M, kerajaan-kerajaan kecil itu berhasil dipersatukan oleh kerajaan Samudra Pasai. Setelah rajanya yang pertama, Meura Silu memeluk agama Islam dan berganti nama menjadi Malik al-Saleh, kerajaan ini berubah menjadi kerajaan Islam. Pada awal abad ke-14, Samudra Pasai mengirim utusan dagang ke Cina yang menandai kedaulatannya. Ini mengisyaratkan ia telah mampu menyaingi Sriwijaya. Pada tahun 1340 M, Sriwijaya diserbu oleh Majapahit. Selama lima abad berikutnya, tak terhindarkan Sriwijaya semakin lemah dan merosot. Sebaliknya Samudra Pasai, walaupun juga digempur Majapahit pada tahun 1360 M, tetap berkembang sebagai bandar dagang regional yang besar. Invasi Majapahit ini juga menyebabkan agama Islam berkembang di Jawa Timur sebagai dampak dari banyaknya tawanan perang yang dibawa tentara Majapahit dari Pasai ke Jawa Timur. Orang Pasai juga banyak yang pindah ke Jawa Timur menyusul terjadinya silang kawin antara putra-putri Pasai dan putra-putroi Majapahit.

Pada tahun 1390 M raja terakhir Sriwijaya, yang masih muda, berhasrat memulihkan kedaulatan negerinya. Lantas ia memaklumkan diri sebagai titisan (avatara) Boddhisatwa. Ini membuat murka penguasa Majapahit. Ibukota Sriwijaya lantas diserbu sekali lagi dan kali ini dihancur leburkan. Bersama ratusan sanak keluarga, karib kerabat, pendeta dan pegawainya, Paramesywara berhasil melarikan diri. Mula-mula ke Temasik, Singapura sekarang, dan akhirnya ke Malaka di mana dia mendirikan kerajaan baru. Karena letaknya yang strategis, Malaka segera berkembang menjadi bandar dagang regional yang penting di Selat Malaka.Pada tahun 1411 M, Paramesywara memeluk agama Islam setelah menikah dengan putri raja Pasai. Maka negerinya muncul menjadi kerajaan Islam baru kedua setelah Samudra Pasai.

Berdirinya Samudra Pasai dan Malaka semakin mendorong pesatnya perkembangan agama Islam di kepulauan Melayu, penduduk Nusantara pertama yang secara beramai-ramai memeluk agama Islam. Berbeda dengan agama Buddha hadir sebagai agama elite aristokratik, Islam hadir sebagai agama egaliter dan populis yang tidak mengenal sistem kasta dan kependetaan, dan karenanya memungkinkan keterlibatan segenap lapisan masyarakat dalam semua aspek kehidupan sosial dan keagamaan. Hadirnya para faqir atau sufi pengembara, bersama organisasi tariqat mereka yang banyak pengikutnya dan mempunyai jaringan organisasi yang luas, kian memungkinkan pesatnya perkembangan Islam pada abad-abad ini. Organisasi-organisasi tariqat ini mulai berkembang subur sejak abad ke-12 M dan semakin giat melakukan kegiatan penyebaran agama ke Afrika, Asia Selatan dan Asia Tenggara setelah jatuhnya kekhalifatan Baghdad pada akhir abad ke-13 M.
Sebelum berkembangnya Islam, lembaga pendidikan di kepulauan Nusantara dibuka hanya untuk lapisan elite aristokratik. Pada zaman Islam lembaga pendidikan dibuka untuk segenap lapisan masyarakat. Dengan demikian tradisi keterpelajaran berkembang pesat dan memudahkan bagi penyebaran agama Islam. Lagi pula sebagai agama kitab, Islam mewajibkan segenap pemeluknya, tua dan muda, lelaki dan wanita, belajar membaca dan menulis. Dalam tiga abad perkembangannya itu Islam tidak hanya menyebabkan penduduk yang menerimanya melek huruf, tetapi juga memiliki budaya tulis dan tradisi intlektual yang tinggi.

Datangnya Islam, kata al-Attas (1972), menyebabkan kebangkitan rasional dan intelektual yang bercorak religius di Nusantara yang tidak pernah dialami sebelumnya. Sedangkan Kern (1917:16) mengatakan bahwa datang dan berkembangnya Islam telah mendorong terjadinya perubahan besar dalam jiwa bangsa Melayu dan kebudayaannya. Islam menyuburkan kegiatan ilmu dan intelektual serta membebaskan mereka dari belunggu mitologi yang menguasai jiwa mereka. Pada gilirannya kedatangan Islam juga membuka lembaran baru dan menyebabkan terjadinya proses perubahan sosial, ekonomi dan politik yang sangat mendasar. Karena datang dan berkembang melalui saluran perdagangan dan tasawuf, datangnya Islam juga membangkitkan etos atau budaya dagang yang tangguh di kalangan etnik Nusantara yang telah lama memeluknya.

Masjid Sumenep

Tahapan Awal Perkembangan Islam

Pererkembangan Islam di Nusantara dan transformasi budayanya, secara umum
dapat dibagi ke dalam tiga tahapan: Pertama, tahapan perpindahan ke islam secara formal, kira-kira berlangsung pada tahun 1200 – 1400 M. Kedua, perpindahan secara spiritual disebabkan intensifnya penyebaran Islam oleh para wali dan sufi, dari tahun 1400 – 1600 M. Ketiga, tahapan pendalaman dan penyempurnaan pemahaman terhadap ajaran Islam. Derasnya proses Islamisasi pada masa tahapan ini berlangsung didukung oleh suburnya kegiatan penulisan kitab-kitab keagamaan, keilmuan dan sastra, serta kegiatan penciptaan seni dan berhasilnya upaya mengintegrasikan Islam dengan budaya lokal. Ini berlangsung pada abad ke-17 dan 18 M (lihat juga al-Attas 1972).
Sudah tentu proses islamisasi itutidak berlaku serentak di wilayah yang berbeda-beda dalam waktu bersamaan. Walaupun demikian, urutan tahapan itu berlaku secara umum ketika di suatu daerah proses islamisasi bermula dan berlanjut ke tahapan berikutnya. Pada tahapan pertama, daya tarik Islam yang menyebabkan penduduk Nusantara memeluk agama ini ialah watak dan semangat egaliternya. Dengan masuk Islam mereka mempunyai peluang untuk memperoleh pendidikan yang akan membuat status sosialnya naik. Dengan masuk Islam pula penduduk pribumi dapat berpartisipasi dalam kegiatan perdagangan regional dan internasional yang didominasi oleh orang Islam. Dengan cara demikian semakin banyak penduduk di kepulauan Nusantara menjadi bagian dari masyarakat kosmopolitan. Pola kegiatan ekonominya tidak hanya terkungkung di pasar tradisional dan mobilitas sosialnya berkembang tidak hanya secara horizontal, namun juga secara vertikal. Jika dalam agama yang terdahulu pedagang menempati strata yang rendah, dalam Islam kaum pedagang menempati strata yang terhormat. Ini mendorong tumbuhnya budaya dagang dan semangat wiraswasta.

Pemakaian bahasa lokal sebagai pengantar di lembaga pendidikan Islam, terutama bahasa Melayu, memudahkan pula penduduk Nusantara lebih mudah mepelajari agama dan ilmu-ilmu keagamaan. Apalagi bahasa ini telah lama merupakan lingua franca di Nusantara di bidang perdagangan. Intensifnya penggunaan bahasa Melayu di lembaga pendidikan Islam dan perluasan pemakaiannya di luar kepulauan Melayu, menyebabkan bahasa ini berkembang pesat dan dirasakan keperluannya. Ketika martabat bahasa ini naik dan proses islamisasinya kian deras, semakin naik pula perannya. Ia lantas muncul sebagai bahasa pergaulan utama etnik-etnik dan bangsa yang berbeda-beda di Indonesia di bidang politik, intelektual dan keagamaan. Apalagi sebagian besar kitab-kitab keagamaan dan sastra, yang merupakan sumber rujukan utama dalam memahami ajaran Islam dan tradisi intelektualnya, ditulis dalam bahasa Melayu.

Demikianlah segera setelah agama Islam berkembang segera pula ia memperlihatkan wataknya yang khas yang membedakan dari dua agama India yang telah hadir lebih dahulu. Perbedaannya ialah: Pertama, dalam Islam hanya ada teks suci tunggal yang utuh dan mantap, karena itu tidak membingungkan penganutnya. Dalam agama Hindu dan Buddha terdapat banyak teks suci. Kedua, ajaran ketuhahan dan sistem peribadatan Islam lebih sederhana dan jelas, serta mudah dipahami. Ketiga, Islam adalah agama yang egaliter sebagaimana telah dijelaskan. Tiadanya sistem kasta mendorong penduduk kepulauan Nusantara cepat tertarik pada agama yang pada mulanya diperkenalkan oleh para pedagang Arab dan Persia itu.

Kecuali itu terdapat faktor lain, beberapa di antaranya ialah : (1) Para pendakwah Islam yang awal dalam menyampaikan khotbah-khotbahnya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, namun jelas pesan yang ingin disampaikannya tanpa perlu melakukan pendangkalan; (2) Ajaran Islam mengharuskan terciptanya hubungan mesra pemeluknya dengan Sang Khaliq; (3) Dalam Islam tidak ada lembaga kependetaan. Teks-teks Melayu dan Nusantara Islam yang berasal dari masa awal penyebaran agama ini, baik kitab fiqih dan tasawuf, maupun hikayat dan babad, memberikan kesaksian mengenai hal tersebut. Satu lagi daya Islam pada masa awal penyebarannya itu ialah pembacaan riwayat hidup dan perjuangan Nabi Muhammad dengan dinyanyikan. Misalnya Qasidah Burdah dan Syaraful Anam, atau syair-syair dalam Maulid Rasul. Ini dikemukakan antara lain oleh sejarawan Parsi abad ke-15 M yang tinggal di Malabar, Zainuddin al-Ma`bari dalam kitabnya Tuhfat al-Mujahidin.

Penyampaian ajaran Islam dalam bahasa lokal, dengan uraian yang mudah dicerna, tercermin dalam kurikulum madrasah di Samudra Pasai dan Malaka, yang sebagian masih berlaku hingga kini. Ilmu-ilmu yang diajarkan meliputi asas-asas agama Islam, fiqih dan syariah, bahasa Arab dan sejarah Islam pada tingkatan dasar, sedangkan pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi diajarkan ilmu kalam, usuluddin, tafsir al-Qur’an dan hadis, tasawuf, retorika, logika (ilmu mantiq), dan lain-lain. (Ismail Hamid 1983:2). Naskah-naskah Islam awal yang dijumpai juga menunjukkan pengutamaan fiqih sebagai dasar pengetahuan untuk memahami ajaran Islam. Misalnya naskah lontar abad ke-15 dari Jawa Timur, yang memuat teks uraian tentang fiqih yang diajarkan oleh Maulana Malik Ibrahim, wali pertama di pulau Jawa. Dalam teks itu juga diuraikan tasawuf akhlaq, ringkasan dari Bidayat al-Hidayah karangan Imam al-Ghazali (w. 1111 M).

Karena didasarkan atas keimanan yang kuat, proses perpindahan ke Islam pada tahapan awal ini tidak dirasakan perlu untuk memberi pehamanan secara rasional dan inetelektual. Pengajian yang intensif dengan uraian yang mudah tentang berbagai perkara keagamaan, dan ide-ide Islam tentang kemasyarakatan, seperti yang biasanya diselenggarakan setelah salat maghrib di masjid-masjid, dirasakan cukup memadai. Begitu pula pembacaan hikayat nabi-nabi, kisah kepahlawan kaum Muslimin di masa lalu dalam memerangi ketidakadilan dan kekafiran, seperti Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Ali Hanafiyah, dua epos yang dikenal luas di lingkungan masyarakat Muslim tradisional, sudah cukup. Juga telah lama dijumpai banyak syair-syair keagamaan dalam bahasa Melayu dan bahasa daerah lain di Nusantara yang pada zamannya dijadikan sarana efektif dakwah Islam. Pada gilirannya pembacaan syair-syair keagamaan dan pujian kepada Nabi Muhammad s.a.w. itu melahirkan berbagai bentuk kesenian baru.

Tidak diperlukannya uraian yang bercorak intelektual, itu sebagian disebabkan karena pemahaman tentang Tauhid atau kepercayaan akan keesaan Tuhan dalam pikiran penduduk Nusantara masih kabur. Konsep-konsep ketuhanan yang diajarkan Hinduisme dan Syamanisme masih berpengaruh. Jika implikasi rasional dan inetelektual dari Tauhid disertakan dalam dakwah Islam, maka kemungkinan akan terjadi kekaburan yang membingungkan Yang dapat dilakukan untuk mengikis pengaruh kepercayaan lama itu ialah dengan memperkenalkan dasar-dasar kosmopolitanisme Islam. Dasar-dasar kosmoplitanisme Islam itu antara lain ialah pandangan bahwa hidup di dunia ini bersifat sementara, sedang kampung halaman manusia sebenarnya ialah akhirat.

Islam juga mengajarkan bahwa Tuhan sajalah Yang Maha Hidup. Dia sajalah yang dapat memberi kehidupan kepada segala sesuatu yang ada di alam semesta. Bukti bahwa pada tahapan awal ini yang diperkenalkan terlebih dulu ialah semangat kosmoplitan Islam, tampak pada tulisan di makam-makam Islam lama dari abad ke-13 – 15 M yang dijumpai di Pasai dan Aceh, Semenanjung Malaya dan Gresik di Jawa Timur, dan tempat lain. Sebagian besar tulisan yang dipahatkan pada batu nisan makam-makam lama itu ialah ayat-ayat al-Qur’an dan syair-syair Arab yang berkaitan dengan prinsip-prinsip dasar dari kepercayaan terhadap keesaan Tuhan dan pandangan dasar bahwa hidup di dunia ini hanya sementara..

Dari Pasai dan Aceh, Islam kemudian tersebar ke wilayah-wilayah lain di kepulauan Nusantara. Kerajaan-kerajaan Islam pun bermunculan di pulau-pulau lain sejak abad ke-16 M. Di Jawa muncul kerajaan Demak, Banten, Pajang, Mataram, Cirebon dan Madura pada abad ke-16 – 17 M; di Maluku kerajaan Ternate dan Tidore pada abad ke-16 juga; di Sulawesi Buton, Selayar dan Gowa, di Nusatenggara Bima dan Lombok, di Kalimantan Banjarmasin dan Pontiana, dan seterusnya pada abad ke-17 dan 18 M. Di kepulauan Melayu sendiri pusat-pusat kekuasan dan peradaban Islam yang lain juga muncul menyusul kemunduran Aceh Darussalam sejak awal abad ke-18 M. Misalnya Palembang, Johor, Riau, Banjarmasin, Minangkabau, dan lain-lain.

Tidak banyak ekspedisi militer diperlukan dalam proses islamisasi itu Yang paling aktif bergerak ialah para wali dan sufi, atau para pemimpin tariqat dengan gilda-gilda mereka Sumber-sumber sejarah lokal banyak memberikan keterangan ini. Misalnya Hikayat Raja-raja Pasai (ditulis pada akhir abad ke-14 M) yang menceriterakan bahwa raja Samudra Pasai dan penduduk negeri itu diislamkan oleh Syekh Ismail, seorang faqir yang berlayar bersama 70 pengikutnya dari Yaman. Seorang musafir Arab dari Maroko, Ibn Batutah yang mengunjungi negeri itu pada tahun 1345-6 M, memberitakan dalam laporannya bahwa raja negeri itu sangat egaliter dan suka berbincang dengan ulama-ulama madzab Syafii, serta para cendekiawan Persia dari Bukhara dan Samarqand. Dia berjalan kaki ke masjid setiap hari Jumat. Usai salat Jumat sang raja biasa bertatap muka dan berbincang dengan orang kebanyakan sebelum kembali ke istana (Gibb 1957:273-6).

Raja Gowa di Sulawesi dan penduduknya diislamkan pada tahun 1607 oleh seorang ulama sufi dari Minangkabau bernama Abdul Ma`mur Chatib Tunggal. Dia dating bersama rombongan pengikutnya dan tiba di Sulwesi Selatan setelah berlayar lama. Dia kemudian dikenal dengan nama Dato Ri Bandang. Sedangkan temannya Chatib Sulaiman dan Chatib Bungsu masing-masing mengislamkan daerah Luwu dan Tiro, dengan mengajarkan fiqih dan tasawuf (Nourdyn 1972:19). Di Jawa proses islamisasi dilakukan oleh para wali. Selain menggunakan saluran perkawinan dan jaringan perdagangan, mereka juga menggunakan saluran kesenian dan budaya lokal, termasuk sastra. 

0 komentar:

Posting Komentar

Download Now

About This Blog

Lorem Ipsum

Lorem Ipsum

Reader Community

About Administrator

Foto Saya
perkembangan islam di indonesia
Lihat profil lengkapku