Wajah Damai Islam Indonesia
OPINI | 06 September 2011 | 21:20
238
15
2 dari 3 Kompasianer menilai aktual
Islam Indonesia
begitu istimewa. Berbeda dari Islam di negeri-negeri lainnya yang
disebarkan lewat ekspansi militer, di Indonesia agama ini disebarkan
secara damai oleh pedagang-pedagang Arab dan India.
Tidak Menghancurkan
Banyak faktor mengapa
Islam begitu mudah diterima oleh orang Indonesia. Ajaran Islam yang
diterima masyarakat muslim awal Nusantara tidak memberangus adat dan
kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Yang terjadi ialah akulturasi
budaya. Misalnya, tradisi wayang di Jawa, justru dimanfaatkan oleh para
penyebar Islam sebagai sarana dakwah. Kebudayaan yang ada tidak
dihilangkan, namun dimodifikasi dengan menyelipkan inti-inti ajaran
Islam, sehingga orang tidak merasa ‘asing’ dengan datangnya agama baru.
Hal ini sebetulnya tak
jauh berbeda dengan haji. Tradisi haji telah ada sebelum Islam dibawa
Nabi Muhammad. Ritual haji sudah diajarkan sebelumnya oleh Nabi Ibrahim
yang mengajak manusia kepada tauhid. Haji ini tetap bertahan walau
masyarakat setelah era Ibrahim kembali berpaling dari monoteisme, menuju
politeisme pagan penyembahan berhala.
Kenyataan ini berangkat
dari esensi Islam yang penuh toleransi. Dulu, saat masyarakat muslim
telah begitu kokoh di Semenanjung Iberia, Spanyol, umat lain seperti
Kristen dan Yahudi tetap diberikan hak untuk hidup dengan aman dan
nyaman. Perbedaan tidak menghalangi mereka bersama-sama membangun
peradaban. Mereka bahu-membahu dan tetap saling menghormati.
Menjunjung Kesetaraan
Selain adat yang tetap
dipertahankan, ada sebab lain kenapa masyarakat Nusantara sangat
antusias menerima Islam. Sebelum kedatangan Islam, sebagian masyarakat
Nusantara menganut agama Hindu di mana di dalamnya terdapat stratifikasi
sosial dengan pembedaan kasta (sebetulnya lebih tepat disebut warna).
Kasta Brahmana adalah golongan para elit spiritual seperti pendeta dan
rohaniawan. Kasta Ksatria berisi para kepala dan anggota pemerintahan.
Kasta Waisya adalah para penggiat perekonomian, mungkin para pemilik
modal. Sementara kasta terendah ialah Sudra, pelayan dan pembantu ketiga
kasta di atas (budak). Seperti stratifikasi sosial pada umumnya, kasta
sosial menempati fondasi piramida; paling banyak dan paling ‘bawah’
terinjak.
Kehadiran Islam membawa angin perubahan pada masyarakat Nusantara. Islam menawarkan adanya kesetaraan status sosial (egalite)
di tengah-tengah lingkungan manusia. Masyarakat tanpa kelas, tanpa
kasta. Derajat seorang manusia hanyalah diukur dari keimanannya kepada
Tuhan, dan hanya Tuhan yang berhak mengukur derajat seorang manusia.
Islam hadir untuk
membela kaum tertindas. Itu juga terjadi pada masyarakat kota Mekkah
dulu, saat Islam kali pertama diperkenalkan. Kalangan muslim awal ialah
masyarakat kelas bawah dan budak yang termarjinalkan di tengah kota
kosmopolitan Mekkah. Baru setelah itu menarik kalangan pembesar dan
bangsawan.
Akhlak Dulu, Fikih Kemudian
Faktor lain ketertarikan
akan Islam ialah, saat ia datang, ia tak menjadi pengekang dengan
mendatangkan undang-undang ataupun hukum halal-haram. Ia menjadi
penyejuk jiwa, memperbaiki akhlak sebelum membuat aturan-aturan fikih.
Makanya, tasawuf, mistisisme Islam, begitu berkembang di Nusantara saat
masa-masa awal dulu. Itu terbukti dengan lahirnya ulama-ulama sufi besar
di bidang tasawuf dengan karya-karyanya, macam Hamzah Fansuri, Abdus
Samad Al-Palimbani, Nuruddin Ar-Raniri, atau Syekh Abdurrauf As-Sinkili.
Nabi Muhammad pun mula-mula memperkenalkan Islam bukan lewat hukum ini haram-itu halal, secara direct. Namun ia mengenalkan dulu tauhid yang lebih esensi, untuk kemudian mengajarkan norma-norma agama secara gradual. Hukum-hukum agama baru diterapkan saat masyarakat Islam telah kokoh dan kuat saat periode Madinah.
0 komentar:
Posting Komentar