Sejak
lama umat Islam di Indonesia dicekoki sejarah bahwa Islam pernah
mengungguli bangsa Barat dalam hal sains, teknologi, dan perkembangan
budaya. Namun, kita hanya mengenal karya tertulis mereka. Jika
berkunjung ke Iran, kita bisa menyaksikan saksi dari kecanggihan
perkembangan teknologi umat Islam abad pertengahan. Masjid Jami dan
bangunan teknik di Iran adalah salah satu buah dari kecanggihan
teknologi baik fisik, arsitektur, maupun budaya itu.
Masjid
Imam (Imam Mosque) yang berada di Grand Bazaar Esfahan menjadi contoh
sebuah perpaduan yang sempurna dari masjid sebagai pusat kegiatan umat.
Masjid ini dibangun pada tahun 1600-an masa Raja Abbasiah I (dinasti
Safavid). Lokasinya di pasar terbesar yakni Grand Bazaar. Masjid Imam
menjadi center point areal Grand Bazaar.
Arsitektur
masjid ini dirancang oleh Ali Esfahani di atas lahan total seluas
12.264 meter pesegi. Masjid ini diperkirakan menghabiskan 18 juta batu
bata dan 472.500 keramik. Hampir seluruh dinding masjid ditutup keramik
mozaik dengan perpaduan warna biru (turquise) dan coklat, serta kuning.
Ada juga penutup tiang dari marmer hijau yang tampak amat jernih. Motif
keramik bervariasi dari bunga, geometris (perpaduan Indo Europian dan
Sasanid).
Satu
hal yang juga telah dipikirkan arsitek masjid pada abad ke-17 ini
adalah bangunan tahan gempa. Arsitek Iran memahami bahwa wilayahnya
termasuk ring of fire dan ring of earthquake. Jadi,
mereka harus mendesain bangunan yang kokoh dan tak goyah oleh gempa.
Buktinya, berabad-abad masjid itu masih tegak berdiri.
Di
Masjid Imam, tiang-tiang utama penyangga bangunan dibuat beberapa
lapis. Tiang dengan tinggi sekitar 50 meter dibagi menjadi empat bagian
mulai dari dasar, bawah, tengah, dan penopang atap. Pada setiap
pertemuan antarsisi terdapat besi dan kayu yang menyerupai per.
Sehingga, jika gempa mengguncang, tiang hanya akan bergoyang dan
bangunan pun tetap berdiri hingga sekarang.
Di
Masjid Jami, pemisah tiang berupa kayu yang bisa bergeser jika terjadi
gempa. Masjid Jami dibangun pada masa dinasti Seljuk sekitar abad ke-9
Masehi dan tampak masih sangat kokoh. Berbeda dengan Masjid Imam yang
semua dinding ditutup keramik, Masjid Jami dibuat dari bata saja tanpa
diplester dan diaci. Baik di Masjid Jami maupun di Masjid Imam, per dan
kayu dapat terlihat jelas karena ada bagian beton yang terkelupas dan
bagian kayu yang menjorok keluar.
Dahulu,
pasti belum ada teknologi pengeras suara. Karena, teknologi modern baru
berkembang setelah zaman renaisance. Tapi, sang arsitek Muslim telah
memikirkan bagaimana caranya seluruh jamaah dapat mendengarkan suara
imam dan bilal dengan jelas. Dome atau kubah masjid menjadi
kunci utama. Kubah masjid yang bagian luarnya juga dihias dari keramik
bermotif bunga dengan warna hijau dan biru turquoise, ternyata terdiri
atas dua lapis kubah, luar dan dalam. Antara kedua bagian itu terdapat
ruang kosong.
Pada ruang shalat, di belakang imam, tepat di bawah titik tengah kubah terdapat batu hitam. Di situlah sang bilal (muazin) atau yang mengiringi imam shalat berdiri. Sehingga, ketika bilal mengumandangkan azdan, iqamat, atau takbiratul ihram
mengikuti imam, suaranya bisa didengar di seluruh bagian masjid.
Suaranya bergema dan itu masih bisa dilakukan hingga sekarang, beberapa
abad setelah masjid dibangun. Masjid ini juga dilengkapi teknologi
astronomi yang terkesan sederhana namun sulit bagi sebagian awam
memikirkan hal itu.
Pada
salah satu sisi Masjid Imam, terdapat bagian beton fondasi yang
menjorok ke luar. Tingginya sekitar 25 cm. Sepintas, beton itu adalah
bagian dari fondasi biasa karena bentuknya mirip teras kecil. Tapi,
ternyata fungsinya lebih dari itu. Bayangan beton itu memiliki fungsi
astronomi yang masih tepat digunakan untuk menaksir shalat Dzuhur. Jika
di sisi kanan beton masih terlihat bayangan, maka belum masuk waktu
shalat Dzuhur. Orang akan mulai shalat, tepat saat di bawah atau sekitar
beton itu tak ada bayangan lagi. Sehingga, bisa diartikan matahari
tegak lurus di atas beton.
Posisi
Iran yang berada di area subtropis, melahirkan ide tersendiri bagi para
arsitek masjid. Namun, mereka hidup di zaman pertengahan sehingga
teknologi tingkat tingginya tetap berdasarkan pada alam. Iran memiilki
musim salju dan musim panas. Maka, biasanya ada ruang bawah tanah, dan
lorong-lorong yang memanjang dari gerbang hingga ke tempat shalat utama.
Sehingga, jamaah bisa berlindung dari panas terik jika musim panas atau
salju yang tingginya bisa mencapai 10 cm pada musim dingin. Ruang
terbuka biasanya digunakan jamaah untuk shalat Jumat saat musim semi
atau musim gugur.
Untuk
membuat udara di dalam masjid tetap sejuk maka dibuat tiang seperti
menara yang cukup tinggi. Pada bagian atas menara terdapat lubang angin
yang akan menangkap aliran angin di luar untuk dialirkan ke bagian
dalam. Maka masjid pun tetap sejuk meski udara di luar amat panas.
Pakar
pembangunan masjid dari ITB, Ahmad Nu’man, menyatakan apa yang terjadi
di Iran sebelum abad pertengahan menunjukkan bahwa arsitek masjid amat
memperhatikan ilmu pengetahuan dalam merancang struktur masjid yang
kokoh. ”Jadi, mereka sudah mempelajari zona gempa sehingga siap
mengaplikasikan pada bangunan masjid,” tutur dia.
Menurut
Nu’man, amat penting mempelajari bangunan yang rusak saat gempa
terjadi. Soal suara yang memantul karena dome yang dibuat dua lapis,
menurut arsitek Masjid At Tiin dan Masjid Salman ITB itu juga bentuk
lain dari penguasaan teknologi akustik yang diterapkan juga pada musik.
Tid (Republika, Jumat, 07 September 2007)
0 komentar:
Posting Komentar